Mereka mempertanyakan keseriusan pemda soal pemekaran Luwu Tengah
Ratusan anggota kepolisian merangsek blokade warga di Jalan Trans Sulawesi, Selasa 12 November 2013. Langkah mereka tegas. Tujuannya, membubarkan warga yang memblokade jalan itu sebagai bentuk protes atas gagalnya pemekaran Kabupaten Luwu Tengah.
Warga marah karena dalam Rancangan Undang-Undang yang akan dibahas
DPR dan pemerintah terkait pemekaran 65 daerah otonomi baru (DOB), Luwu
Tengah tak termasuk di dalamnya. Mereka mempertanyakan keseriusan
pemerintah daerah dalam mewujudkan pemekaran Luwu Tengah.
Unjuk rasa menutut pemekaran Kabupaten Luwu menjadi Kabupaten Luwu
Tengah merupakan gerakan rakyat dan mengklaim bahwa aksi ini telah
mendapat dukungan dari 60 kepala desa di Walenrang Lamasi.
Warga diperkirakan dari 60 desa ini bergabung bersama mahasiswa
melakukan unjuk rasa sejak Senin kemarin. Mereka menuntut pemekaran
wilayah dengan cara memblokir jalur Trans Sulawesi. Sudah 10 tahun warga
memperjuangkan aspirasi mereka untuk pemekaran daerah.
Emosi warga tak terkendali ketika polisi menertibkan mereka. Mereka
menyerang petugas, melempari polisi dengan bom molotov, bahkan menembak
polisi dengan senapan angin. Seorang warga dikabarkan tewas dalam
bentrokan tersebut.
Menurut warga, korban meninggal bernama Candra. Dia terkena
tembakan peluru tajam polisi pada dada kirinya. Dari pantauan, saat
jenazah korban dibawa dengan menggunakan mobil polisi, dua anak korban
dan istrinya menangis histeris dan berusaha agar jenazah keluarga mereka
tidak dibawa.
Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan membenarkan ada satu warga
Walenrang Lamasi, Kabupaten Luwu yang meninggal saat bentrokan tersebut.
Namun, polisi belum mau menjelaskan apa yang menyebakan warga tersebut
meninggal.
"Kalau mengatakan korban ada satu orang. Saya lihat memang
meninggal, tapi karena apa belum jelas. Tapi kami juga dihadapi dengan
senjata api, molotov, panah, badik. Anggota kami juga ada yang kena,"
kata Wakapolda Sulsel, Brigjen Ike Edwin.
Ike Edwin menegaskan, polisi melakukan tindakan tegas akibat aksi
unjuk rasa ini telah mengganggu kamtibmas. Sudah dua hari warga menutup
jalan Trans Sulawesi.
"Ini jalur lintas Trans Sulawesi tertutup, macet sudah 17 km. Semua
akses ke Sulawesi Utara, Tengah, Tengara dan Gorontalo terhenti. Sudah
ditutup dua hari," katanya.
"Hari ini kami sudah enam kali negosiasi. Jalan sudah macet parah dan tidak mau dibuka. Kami ambil tindakan tegas."
Hingga petang hari, Polisi mengamankan enam orang yang diduga berperan sebagai provokator pemicu bentrok.
Kepala Kepolisian RI Komjen Pol Sutarman saat ditemui di Kompleks
Istana Negara, Jakarta, mengungkapkan, informasi sementara akibat
bentrokan tersebut sebanyak 14 petugas polisi dan empat pengunjuk rasa
terluka.
Para korban tersebut, menurut dia, terluka akibat lemparan batu dan
molotov yang digunakan para pengunjuk rasa. Bahkan, lanjutnya, ada
pengunjuk rasa yang membawa senjata rakitan.
Sekitar 1.000 personel aparat gabungan diturunkan untuk mengamankan
unjuk rasa ini. Di antaranya, dua Satuan Setingkat Kompi (SSK) dari
brimob yang berjumlah 250 personel, satu SSK TNI, dan petugas kepolisian
setempat sebanyak 380 personel.
Kalah Pilkada Tuntut Pemekaran
Komjen Sutarman mengungkapkan, berdasarkan laporan yang diterima,
permintaan pemekaran Kabupaten Luwu menjadi Luwu Tengah berawal dari
konflik hasil Pilkada setempat.
"Bupati yang sekarang menjabat dan wakilnya dulu kan berkompetisi
(dengan pasangan Basmin Mattayang-Syukur Bijak), kemudian setelah
perhitungan suara (Basmin-Syukur) menggugat (ke MK) dan juga dinyatakan
kalah. Kemudian setelah dikalahkan, upaya unjuk rasa berubah akhirnya
menjadi tuntutan pemekaran," ujarnya.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Luwu, pada September 2013 lalu
menetapkan incumbent Andi ‘Cakka’ Mudzakkar bersama pasangannya Amru
Saher sebagai bupati dan wakil bupati terpilih dalam rapat pleno
rekapitulasi dan penetapan kandidat terpilih. Cakka-Amru menang dengan
selisih 1.431 suara dari rival terberatnya, Basmin Mattayang-Syukur
Bijak.
Keputusan tersebut kemudian berbuntut pada gugatan Basmin-Syukur ke
MK. Kelompok pendukung pasangan ini pun kemudian berunjukrasa menolak
putusan KPU tersebut.
Unjuk rasa ini kemudian ditengarai melebar menjadi tuntutan
pemekaran daerah Kabupaten Luwu menjadi Luwu Tengah. Proses pemekaran
ditindaklanjuti hingga membentuk Pansus Persiapan Pembentukan DOB Luwu
Tengah DPRD Sulawesi Selatan. Pansus ini diketuai Armin Mustamin
Toputiri.
Armin menyatakan mereka telah menyerahkan usul tersebut kepada
Komisi II DPR untuk dibahas lebih lanjut. Namun, hasil sidang paripurna
DPR pada 24 Oktober lalu, ternyata usul tersebut tidak termasuk 65 calon
Daerah Otonomi Baru (DOB).
Hal itu memicu demonstrasi hingga pemblokiran jalan lintas yang
menghubungkan antar provinsi itu. Armin kemudian ke Jakarta untuk
menginvestigasi persoalan tersebut dengan bertanya langsung ke
Kementerian Dalam Negeri dan Komisi II DPR yang mengurus soal otonomi
daerah. Belakangan dia tahu, ada pihak yang mengatakan berkas pemekaran
Luwu Tengah hilang di Komisi II DPR.
Wakil Ketua Komisi II DPR, Arif Wibowo, mengklarifikasi ihwal itu.
Menurut Politisi PDIP ini, permohonan pemekaran daerah Luwu Tengah,
Sulawesi Selatan, sudah dicabut dari Komisi Pemerintahan itu. Akhirnya,
wilayah inipun tidak masuk dalam 65 daerah yang diusulkan dalam rapat
Paripurna lalu.
Arif kemudian menjelaskan duduk persoalan penarikan permohonan
pemekaran Luwu Tengah. Bermula saat beberapa anggota Komisi II DPR yang
berasal dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan meminta pengajuan
pemekaran daerah itu ditarik. "Infonya karena koordinasi dengan gubernur
tidak sepakat," kata Arif di Gedung DPR, Selasa 12 November 2013.
Untuk itu, Arif mengusulkan, masyarakat Luwu menanyakan alasan
penarikan permohonan ini langsung ke Gubernur Sulawesi Selatan dan
anggota DPR dapil Sulawesi Selatan. "Langkah yang bisa ditempuh
masyarakat mengkonfirmasi gubernur, DPRD dan DPR dapil sana. Kenapa kok
ditarik," ujar dia.
Untuk diketahui, Pemerintah memutuskan moratorium pemekaran daerah
setelah isu itu memanas akibat proses pemekaran daerah ketika itu
menelan korban jiwa.
Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat meninggal dunia di
tengah demonstran yang menuntut pemekaran Provinsi Sumatera Utara.
Mereka minta pembentukan Provinsi Tapanuli.
Meskipun pemerintah telah memoratorium pemekaran daerah sejak 2010,
usulan baru terus mengalir. Mengapa? Karena usulan terbuka lewat tiga
pintu, yaitu pemerintah, DPR, dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah).
Motif mengejar jabatan politik dibalik tuntutan pemekaran daerah
pernah disampaikan Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan
Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng, saat dihubungi VIVAnews,
bulan lalu.
”Bagi DPR, pilihan politiknya memang harus mekar. Dengan begitu
mereka bisa mendistribusikan kader politik ke kursi jabatan politik,”
ujar Endi.
Endi mengingatkan DPR akan temuan tim evaluasi pelaksanaan otonomi
daerah yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri. Dimana 80% daerah
otonom baru tidak mencapai tujuan pemekaran, yaitu menyejahterakan
rakyat. Dalam skala 1-10, hanya ada dua daerah yang meraih nilai 6,
yaitu Kabupaten Cimahi, Jawa Barat, dan Banjar Baru, Kalimantan Selatan.
Indikator penilaian itu adalah kesejahteraan rakyat, good governance,
pelayanan publik, dan daya saing.
>>Vivanews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar