Ciri akhir zaman, di antaranya,
diangkatnya ilmu. Maknanya bukan dicabut secara langsung dari dada
manusia. Namun dengan diwafatkan ulama. Jika sudah tidak ada ulama yang
sesungguhnya, maka manusia mengangkat orang yang jahil sebagai pemimpin
dalam beragama. Mereka meminta fatwa kepadanya. Akibatnya, pemimpin yang
jahil tersebut sesat -karena kejahilannya- dan menyesatkan manusia
secara umum dengan fatwanya.
Demikianlah realita yang terjadi di
masyarakat. Saat kepemimpinan suatu negeri dipegang orang yang jahil
terhadap agama, maka ia diundang dan didaulat memberikan arahan. Lebih
parah lagi yang meminta arahan adalah orang-orang yang dipercaya umat
dalam urusan agama. Bahkan dikaitkan dengan tempat mulia umat Islam,
yakni masjid. Sehingga arahan yang diberikan tentunya jauh dari
kebenaran yang sesungguhnya karena ia orang yang benar-benar tidak
menguasai urusan agama. [Silahkan baca: MUI: Azan Sayup itu Wacana
Wapres Saja dan Tak Sesuai Syariat Islam]
Disunnahkan Mengeraskan Suara Azan
Adzan adalah ibadah dan termasuk syi'ar
Islam yang masyhur dan teragung. Amalan ini terus dilaksanakan semenjak
disyariatkannya sampai wafatnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Baik ketika malam maupun siang. Baik ketika bepergian maupaun bermukim.
Tidak pernah terdengar bahwa beliau pernah meninggalkannya atau
memberikan dispensasi untuk tidak mengerjakannya.
Disunnahkan mengeraskan suara adzan
sehingga sampai ketelinga manusia yang belum hadir di masjid. Baik
dengan meninggikan suara atau dengan menggunakan pengeras. Agar maksud
adzan yang sebagai panggilan shalat tercapai. Inilah madhab Syafi'i,
Hambali, dan satu pendapat dari Hanafi. (Lihat: Shahih Fiqih Sunnah, Abu
Malik Kamal: I/378)
Diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu,
ia berkata kepada Ibnu Abi Sha'sha'ah, "Aku lihat kamu sangat suka
dengan kambing dan gurun. Jika kamu sedang mengembalakan kambingmu atau
sedang berada di gurun, maka kumandangkanlah adzan dengan suara yang
keras. Sebab tidaklah jin, manusia atau benda lainnya mendengarkan suara
muadzin, kecuali mereka akan memberikan persaksiannya pada hari
kiamat." Abu Said berkata, "Aku mendengarnya dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam." (HR. Al-Bukhari dan al-Nasa'i)
Imam Abu Dawud dalam Sunannya
menuliskan: "Bab Meninggikan (mengeraskan) suara saat adzan". Lalu
beliau menyebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beliau bersabda:
الْمُؤَذِّنُ
يُغْفَرُ لَهُ مَدَى صَوْتِهِ وَيَشْهَدُ لَهُ كُلُّ رَطْبٍ وَيَابِسٍ
وَشَاهِدُ الصَّلاَةِ يُكْتَبُ لَهُ خَمْسٌ وَعِشْرُونَ صَلاَةً
وَيُكَفَّرُ عَنْهُ مَا بَيْنَهُمَا
"Muadzin (orang yang mengumandangkan
adzan) diberi ampunan untuknya sejauh suaranya dan akan disaksikan oleh
semua benda yang basah dan yang kering. Satu orang yang mendatangi
shalat maka dicatat untuknya dua puluh lima shalat dan diberi ampunan
untuknya antara dua shalat." (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih al-Jami', no. 7744 dan Shahih wa Dhaif Sunan Abi Dawud, no. 515)
Maksud "Muadzin (orang yang mengumandangkan adzan) diberi ampunan untuknya sejauh suaranya”
adalah muadzin diberi ampunan dengan sempurna dengan jauhnya suara itu
sampai. Makna lainnya, ini sebagai perumpamaan. Jika dosanya banyak dan
mencapai sejauh suaranya itu, maka diberi ampunan untuknya dengan sebab
itu. Ringkasnya, kerasnya suara akan terdengar oleh manusia. Setiap
orang yang mendengar suara adzan lalu terpanggil oleh suara dan
panggilan tersebut, maka muadzin tadi diberi ganjaran dan pahala serta
diampuni dosanya dengan sebab itu.
Maksud dari "dan akan disaksikan oleh semua benda yang basah dan yang kering", setiap benda basah dan kering yang suara adzan sampai kepadanya akan menjadi saksi untuk muadzin pada hari kiamat.
Maksud "Satu orang yang mendatangi shalat maka dicatat untuknya dua puluh lima shalat dan diberi ampunan untuknya antara dua shalat,"
yakni: orang yang hadir shalat karena menyambut seruan ini maka muadzin
diberi pahala besar. Baginya pahala 25 shalat dan ampunan antara dua
shalat berikutnya dengan sebab shalat yang dikerjakan tadi.
Sama-sama dimaklumi, muadzin adalah
orang yang menghadiri shalat berjamaah, hadir di masjid, dan mendapatkan
pahala shalat berjama'ah. Di tambah lagi dengan ampunan yang
diperolehnya di antara dua shalat. Maka apa yang diperoleh oleh orang
yang menyambut seruannya, maka ia pun mendapatkannya. Tapi ia mendapat
tambahan karena menjadi sebab datangnya mereka ke masjid.
Kesimpulan
Mengeraskan adzan menjadi tuntutan.
Karena tujuannya menyampaikan suara nida' (panggilan) kepada manusia.
Dan ini bisa terwujud dengan benar-benar mengeraskan suara sampai
diyakini telah sampai kepada telinga umat. Jika dilantunkan secara pelan
dan mendayu-dayu tentu tujuan ini tidak terwujud. Terlebih para ulama
menyebutkan, adzan dengan sayup-sayup dan mendayu-dayu termasuk dari
kesalahan dalam adzan.
Syaikh Abu Malik Kamal dalam Shahih
Fiqih Sunnah menyebutkan beberapa kesalahan dan amal bid'ah dalam azan.
Pada urutan pertama disebutkan, "Melagukan dan meliuk-liukan suara
secara berlebihan dalam adzan." (Shahih Fiqih Sunnah: I/392)
Semoga tulisan ini menjadi sarana
meluruskan wacana yang dihembuskan oleh Wakil Presiden, -bukan ulama
namun berbicara tentang syariat ibadah- tentang anjuran agar adzan tidak
terlalu keras, sebaliknya adzan lebih baik dikumandangkan dengan
sayup-sayup. Wallahu Ta'ala A'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar