Senin, 31 Desember 2012

Tenggarong Siap Lengserkan Samarinda

Rita: Saya Sedih Lihat Kota Tepian

  Kondisi Samarinda yang dinilai amburadul, membuat kepala daerah lainnya prihatin. Salah satunya Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) Rita Widyasari. Bahkan menurutnya, Kukar siap menggantikan Samarinda menjadi ibu kota provinsi, bila perbaikan tak kunjung terjadi.

Ya, ketika dimintai pendapatnya tentang ibu kota provinsi, Rita mengaku sedih. Dia cukup mengenal kota ini, karena Rita menghabiskan masa SMA di Samarinda. Dia pun punya tempat tinggal di Kota Tepian. Tak heran Rita ikut risau melihat perkembangan kota.

“Selain (dulu) sekolah dan punya rumah di Samarinda, saya dua kali melahirkan di sana. Jadi saya juga merasa sebagai orang Samarinda,” ucap Rita kepada Kaltim Post, Minggu (30/12).

Kemacetan, banjir, dan kota yang berdebu, menurut bupati, harus diselesaikan mengingat status ibu kota provinsi tadi. Sama seperti kebanyakan warga kota, Rita mengaku punya pengalaman tak mengenakkan karena banjir dan macet.

Suatu hari, dia pernah membuat janji temu dengan mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra di Samarinda. “Tetapi gara-gara macet, saya telat datang. Saya malu kepada beliau,” tuturnya.

Belum lagi ketika dia harus datang ke kecamatan-kecamatan yang mesti melewati wilayah Samarinda. Misalnya Marangkayu, Muara Badak, Anggana, dan Sangasanga.

“Selalu susah bila ke Sangasanga dan Anggana. Jalan di Palaran (Samarinda) rusak begitu. Padahal setiap tahun di Sangasanga ada peringatan Merah Putih,” keluhnya.

Itu sebabnya, Rita menyambut baik bila pada akhirnya pusat pemerintahan, utamanya provinsi, dipindah dari Samarinda. Lagi pula, para kepala daerah di Kaltim sering rapat di ibu kota sehingga sedikit banyak tahu kondisi kota.

“Saat ini harus ada urbanisasi. Tak bisa lagi terpusat di satu kota. Saya melihat, Samarinda harus mengurangi izin-izin perhotelan dan perumahan. Daerah serapan air di sana sangat kurang. Belum lagi permasalahan kemacetan,” kata Rita ketika disinggung kondisi Samarinda.

Seperti Tenggarong, lanjutnya, sebaiknya semua permukiman di tepi sungai direlokasi. Selain membuat wajah kota lebih rupawan, aliran sungai juga lebih lancar dan mengurangi banjir.

Tentang kemacetan, Rita mengatakan rencana pembangunan jalan layang atau flyover oleh Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang sudah bagus. Namun, apa yang dia dapat ketika belajar di Harvard Kennedy School, Boston, Amerika Serikat, penanganan kemacetan sejatinya dituntaskan dengan transportasi massal.

Rita yang belajar di negeri Paman Sam dalam program Kementerian Dalam Negeri belum lama ini, mengatakan manajemen transportasi jauh lebih penting ketimbang solusi jangka pendek.

“Coba lihat Jakarta. Biarpun jalan layang dibuat di mana-mana, tidak membuat Jakarta bebas macet. Manajemen transportasinya masih lemah,” ulas dia. Surat izin mengemudi yang begitu mudah diperoleh ditambah pajak kendaraan yang rendah membuat semua orang bisa berkendara.

“Di Singapura, pajak mobilnya tinggi. Tidak semua bisa memiliki kendaraan pribadi. Tetapi pemerintah telah menyiapkan transportasi massal yang sangat bagus. Kemacetan pun bisa dihindari,” sarannya.

“Saya pikir Pak Wali Kota (Jaang) yang juga telah belajar di Harvard sudah punya solusi mengatasi berbagai masalah di Samarinda,” lanjut Rita.

TENGGARONG COCOK

Bupati Rita mengaku sangat antusias bila wacana pemindahan ibu kota digulirkan. Dia menegaskan, Kukar khususnya Tenggarong siap menjadi ibu kota provinsi.

“Seandainya dipindahkan, Tenggarong sepertinya lebih pas. Gedung-gedungnya keren-keren dan tata kotanya rapi. Wilayahnya juga masih luas untuk pengembangan,” usulnya.

Rita mengatakan, ini dilihat dari gedung kejaksaan negeri, kantor Polres Kukar, Pengadilan Negeri Tenggarong, sampai stadion yang representatif.

“Tinggal ditambah bandara dan mal,” lanjutnya seraya tersenyum.

Dikatakan, jika memang solusi jangka panjang adalah pemindahan ibu kota, para pemangku kebijakan sudah harus memikirkan dan merencanakan dari sekarang.

Tentang status kawasan di Tenggarong dan sekitarnya, Rita menuturkan hal itu bisa diselesaikan dengan memohon perubahan di pusat. “Negara ini kan dibentuk atas dasar kesepakatan. Masalah lahan pasti bisa diselesaikan,”  tuturnya.

Ditilik dari sejarah pusat pemerintahan, Kutai Kartanegara juga bagian penting dari Kaltim. Pada masa Kesultanan Kutai, Tenggarong menjadi pusat pemerintahannya.

“Saya sepakat bila dikatakan pusat pemerintahan dikembalikan ke Tenggarong. Tidak ada salahnya. Atau Kukar dan Kubar dibuat satu provinsi saja lagi,” tegasnya.

Rita menginginkan, para pemangku kebijakan duduk bersama membicarakan masalah ini. Demi masa depan anak-cucu, katanya, sudah selayaknya meneropong perkembangan Kaltim di masa mendatang.

Sebelumnya, wacana pemindahan pusat pemerintahan bahkan ibu kota provinsi mencuat melihat wajah Samarinda saat ini. Sejumlah akademisi dari perguruan tinggi melihat, pusat pemerintahan bisa digeser ke tepi Samarinda.

Latar belakangnya adalah kemacetan di ruas jalan ibu kota yang seperti tak tertangani. Melihat pertumbuhan kendaraan, dalam empat tahun kepadatan Samarinda bisa sama seperti Bandung. Sementara dalam 10 tahun, diprediksi bisa seperti Jakarta.

Sementara itu, perlu sedikitnya Rp 3,06 triliun untuk mengatasi macet dengan membangun sejumlah infrastruktur. Mulai jembatan di Sungai Mahakam, jalan layang, sampai melebarkan jalan. Tentu saja pembebasan lahan di tengah kota menjadi tantangan berat.

Untuk banjir yang tak tuntas dalam beberapa dasawarsa ini, diperlukan Rp 1,4 triliun untuk menuntaskannya. Belum pula masalah kebersihan di Kota Tepian. Masih banyak sampah berserakan sampai debu berterbangan. Survei Dinas Kesehatan Kota Samarinda menyebutkan, 40 persen warga terkena ISPA.

Samarinda yang menjadi pusat pemerintahan, pendidikan tinggi, dan bisnis, memang memiliki wilayah yang luas. Namun, pertumbuhan terkonsentrasi di pusat kota. Akibatnya, meski baru memiliki penduduk 1 juta jiwa, pusat kota ini cukup sesak untuk dikembangkan lagi.

Pemindahan ibu kota sebenarnya sudah melanda beberapa provinsi di Indonesia. Jawa Barat, misalnya, mewacanakan memindahkan ibu kotanya dari Bandung ke Cirebon. Bandung sudah demikian padat dan tingkat kemacetannya tinggi.

Sementara Maluku, berencana memindahkan Ambon ke Masohi. Kepadatan Ambon yang semakin tinggi, ancaman longsor dan banjir, kesulitan air bersih, pengelolaan sampah, serta kemacetan lalu lintas, menjadi alasannya.

Untuk Sumatera Barat punya alasan berbeda. Ibu kotanya yaitu Padang, rawan gempa.

Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang mengaku sadar akan permasalahan kota yang dia pimpin. Namun Jaang menolak jika disebut dirinya dan jajaran Pemkot Samarinda tak berbuat apa-apa.

“Tak bisa semua bisa selesai begitu saja, simsalabim langsung selesai. Yang pasti progresnya ada,” ucap Jaang.

Syaharie berpendapat, pusat pemerintahan yang lebih tepat dipindah adalah Kantor Gubernur Kaltim. Gubernuran dapat dipindah ke Samarinda Seberang dan Pemkot yang kemudian menempati Kantor Gubernur yang sekarang di Jalan Gadjah Mada.

Memasuki 2013, Pemkot telah menyiapkan resolusi atau langkah-langkah perbaikan. Program itu di antaranya perbaikan dan pembuatan taman, masalah sampah, jalan, serta persoalan debu.

“Sudah sepatutnya dan seharusnya kami merespons aspirasi warga. Kota yang tak berdebu, tak gelap ketika malam, serta hijau dan indah, itu harus terwujud. Jadi kita tidak malu mengakui kalau memang yang pantas jadi ibu kota itu Samarinda,” tegas wali kota.
 
>>Kaltimpost

Tidak ada komentar:

Posting Komentar