Perlu penyadaran dan sosialisasi tentang ajaran Islam yang sesungguhnya.Indonesia,
khususnya masyarakat Jawa, mempunyai hubungan dekat dengan negara
Suriname. Meski letaknya dipisahkan oleh samudera dan ribuan kilometer,
budaya Jawa bisa ditemukan di Suriname.
Hubungan antara Jawa dan
Suriname dimulai ketika Belanda, yang menjajah dua wilayah tersebut,
mengirimkan orang-orang Jawa untuk dijadikan pekerja di Suriname. Lama
tinggal di sana, membuat para imigran ini tetap mempertahankan
budayanya, termasuk agama Islam.
Salah seorang putra Indonesia,
Joni Anwar, berkesempatan mengunjungi negara ini beberapa waktu lalu.
Tinggal di sana selama tiga minggu dalam rangka acara
Indofair 2013 yang digelar Kedutaan Besar (Kedubes) Indonesia di Suriname.
Kesempatan itu memberinya banyak pengalaman yang patut dibaginya kepada
Republika. “Suasana di sana seperti di Jawa. Saya rasa mirip dengan Kediri misalnya,” ungkap Joni Anwar pekan lalu.
Setiap
satu tahun sekali Kedubes Suriname mengadakan Indofair dan mengundang
beberapa orang Indonesia untuk datang. Acara tersebut banyak memamerkan
barang dari Indonesia. “Barang-barang, seperti blangkon, panci, dan apa
pun dari Indonesia laku keras di sana,” katanya.
Ia banyak
menemukan orang Islam di Suriname. Penduduk Muslim dari Jawa ada sekitar
15 persen dari sekitar 550 ribu total penduduk. Penduduk Muslim lainnya
kebanyakan para pendatang dari India. Melihat keseharian Muslim, ia
tidak bisa mengatakan mereka tidak sepenuhnya terlihat Islam.
Lebih
unik lagi, ia menyaksikan sebuah kondisi yang sangat jarang ditemukan
di tempat lain. Menurut dia, ada dua jenis masjid di sana, yang berbeda
arah kiblatnya.
Masyarakat Suriname yang berasal dari Jawa, kata Joni, masih
mempertahankan untuk shalat menghadap kiblat yang dipercaya berada di
sebelah barat.
Sedangkan, masjid yang lain menghadap kiblat
dengan arah yang tepat, yaitu di arah timur. Secara geografis, letak
suriname yang berada di Amerika Selatan, jelas berada di sebelah barat
Makkah, dan yang benar adalah yang menghadap ke timur.
“Ada dua
masjid yang berseberangan, hanya dipisahkan oleh jalan kecil, namun
keduanya tetap mempertahankan kiblatnya yang berbeda itu,” katanya.
Masjid
yang kiblatnya menghadap ke barat, menurut Joni, masih banyak memakai
adat-adat Jawa, seperti budaya kejawen. Salah satu cirinya, yakni adanya
sesajen dan kemenyan yang dibakar. Menurutnya, ini berbeda dengan
ajaran Islam yang sesungguhnya.
Berdirinya sebuah masjid di sana,
menurutnya, hanya sebagai eksistensi para penduduk bahwa mereka itu
Islam dan mempunyai masjid. Mereka juga menyebut masjid tersebut dengan
nama miliknya, milik sang pemilik.
Misalkan, masjid tersebut
dibangun oleh si A maka si A akan menyebut itu masjidnya, bukan nama
masjid, seperti Al hikmah atau nama masjid seperti di Indonesia.
Azan
yang pernah ia dengar berkumandang hanya di KBRI, sewaktu ia akan
menunaikan shalat Jumat. Sedangkan dua kali shalat Jumat yang ia lakukan
di masjid lokal, tak ada azan yang mengiringinya.
Ia pernah
mempunyai pengalaman aneh. Ketika sudah tiba waktu shalat Zhuhur, ia
masuk ke masjid dan menunaikan shalat. Meski tak ada seorang pun di
dalam masjid yang shalat, ia terus menjalankan shalat sesuai niatnya.
Ketika
ia shalat, banyak orang yang menontonnya dari luar masjid. Bukan
mengikutinya untuk shalat, namun ia justru menjadi tontonan. Seseorang
yang melakukan shalat di masjid saat siang hari dianggap aneh oleh orang
di sana.
Namun, ketika Idul Adha tiba, jumlah binatang yang
dikurbankan termasuk banyak. Di tingkat mushala kecil sekali pun,
minimal ada 10 ekor sapi yang dikurbankan.
Salah kaprah dan
kurangnya pemahaman akan Islam ini, menurutnya, tidak boleh dibiarkan.
Harus ada para relawan dan pendakwah yang bisa menyejukkan jiwa Islam di
Suriname.
Salah satu dakwah yang intens dilakukan, yakni oleh
orang yang dikenalnya sebagai Ustaz Ali Arifin. Ustaz Ali adalah orang
Indonesia yang beruntung mendapatkan beasiswa menimba ilmu di Libya.
Setelah
lulus, ia ditawarkan untuk memilih berdakwah di manapun oleh Pemerintah
Libya. Pilihannya jatuh pada Suriname. Anak dan istrinya pun dibawa ke
negeri yang menjadi penghasil bauksit ini.
Ia beruntung bisa
bertemu dengan Ali. Mereka pun banyak mengobrol dan berbagi cerita
tentang pengalaman Ali selama berdakwah di sana. Banyak tantangan yang
dihadapi saat berdakwah di Suriname.
Pertama, menyatukan kiblat.
Kedua, mengubah pemikiran para perempuan Muslimah. Hingga kini,
pendakwah seperti Ali ini masih sangat kurang. Peluang dakwah terbuka
lebar bagi siapa saja yang ingin membagi ilmunya di Suriname.
“Masyarakat
di sana Barat minded. Meski sang perempuan tersebut Islam, jarang
sekali ditemukan yang memakai pakaian sesuai syariat Islam. Udara di
sana mirip dengan Indonesia, namun memang lebih panas,” kata Joni.
Meski
masyarakat Suriname sangat heterogen, terdiri atas berbagai ras dari
seluruh dunia dengan agama dan kepercayaan yang berbeda-beda, namun
jarang sekali terjadi konflik antar-SARA. Gesekan atau konflik jarang
terjadi di sini.
>>Republika