Rabu, 27 Juni 2012

Masa Depan dan Potret Sebuah Bangsa Ada Pada Orang Tua


Time is money. Benarkah pernyataan ini? Jawabannya relatif. Benar karena memang semua orang memang butuh uang. Hampir semua kegiatan bisa berarti bila disertai uang. Semua kegiatan dapat terlaksana apabila terdapat  cukup dana untuknya.
Akan tetapi tahukah Anda bahwa pernyataan itu juga bisa salah. Waktu ternyata lebih berharga daripada uang. Seseorang, katakanlah karena kesuksesan usaha bisnisnya, seakan-akan bermandikan uang, semua kegiatan selalu menghasilkan uang. Namun tidak punya waktu untuk bersama keluarga, adakah uang menjadi lebih berharga daripada kebersamaan keluarga? Ketika kita meyalahkan “pekerjaan” karena kegagalan meyediakan waktu dan dukungan yang mereka butuhkan bagi keluarga, sebenarnya telah memperdaya diri kita sendiri, karena anak-anak kita tak mengharapkan terlahir ke dunia ini.
Tidaklah mudah menyelaraskan dua kepentingan antara waktu untuk bekerja dan waktu untuk keluarga. Masing-masing mempunyai alasan dan kepentingan yang sangat mendasar. Bagi orang tua yang berorientasi bisnis, pekerjaan adalah nomor satu. Jika ditanya mengenai keluarga dan bagaimana cara membahagiakannya? Jawaban yang muncul adalah bekerja. Dengan bekerja segala kebutuhan materi akan tercukupi. Biaya anak-anak sekolah, jatah belanja istri, anggaran bulanan rumah tangga tidak bisa dicukupi hanya dengan mendekam dan asyik ngobrol semata. Apalagi biaya menyekolahkan anak yang kini kian “gila” mahalnya. Semua itu hanya bisa tercukupi dengan satu kata: bekerja, dapat uang.
Berapa banyak anak terlantar sekolahnya hanya karena orang tuanya tidak cukup biaya untuk mendaftar, SPP, dan segala keperluan sekolah lainnya? Berapa banyak anak-anak gembel dengan pakaian compang-camping dan memelas menengadahkan tangannya di rambu-rambu lalu lintas? Itu semua merupakan tanggung jawab orang tuanya, yang sialnya mereka tidak mampu bertanggung jawab terhadap anak-anaknya, karena orang tua tidak bekerja.
Akan tetapi, bagi orang tua yang lebih mementingkan konsentrasi komunikasi, kasih sayang dan perhatian kepada anak-anaknya, akan banyak menghujat orang tua yang memaknai pekerjaan adalah satu-satunya ekspresi kasih sayang dan perhatian kepada anak-anaknya. Di mata orang tua model kedua ini, terjadinya kenakalan remaja, terjerumusnya anak-anak ke lembah pergaulan bebas, mengkonsumsi narkoba, justru didominasi oleh mereka yang berasal dari kalangan berduit, the have. Hasil jerih payah dan perasan keringat orang tuanya justru membuahkan perilaku hura-hura, funky, dan gaya hidup metropolis. Semua ini membuktikan bahwa menafsirkan kasih sayang dengan tercukupinya materi semata tidaklah menjadi jaminan terciptanya mentalitas anak yang berbudi luhur.
Jadi, sebenarnya konsep seperti apa dan bagaimana yang bisa dipraktikkan untuk bisa menjadi orang tua yang sukses mendidik anak menjadi generasi emas?
Sebenarnya terdapat hubungan timbal balik yang cukup kuat antara bagaimana cara menyayangi anak dengan bagaimana cara dan pembawaan orang tua. Semakin cerdas, semakin hangat dan semakin care orang tua terhadap anaknya, sebenarnya dia tidak hanya menanamkan investasi kasih sayang kepada anak saja, tetapi juga kepada dirinya sendiri. Betapa  tidak, dengan tidak mengeluarkan kata-kata kasar dan sumpah serapah, maka sang anak pun menanamkannya dalam memori yang akan terus bersemi hingga dewasa kelak.
Pertanyaannya, mana yang harus dititik-beratkan antara pekerjaan dengan meluangkan waktu bersama anak dan keluarga di rumah? Bila orang tua memilih konsentrasi pada pekerjaan, maka betapa pun pentingnya dia dalam pekerjaan, sesungguhnya orang lain juga bisa mendapatkannya, dan pada akhirnya posisi dia akan tergantikan. Lain halnya posisi orang tua di rumah, dia adalah satu-satunya ibu atau bapak yang dimiliki oleh anak-anak. Mereka sebenarnya ingin selalu berada di dekat orang tua, mencintai tanpa syarat apapun. Posisi dalam keluarga inilah yang tidak tergantikan oleh siapapun.
Ternyata waktu memang amat mahal harganya. Apalagi waktu yang dimiliki orang tua untuk mencurahkan segenap kasih sayangnya kepada sang anak.
Mari sama-sama merenung, berapa lama orang tua mampu mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya kepada anak? Rata-rata manusia bertahan hidup pada kisaran usia 60 tahun. Dalam jangka waktu itu sang anak lahir pada saat usia orang tuanya 25 tahun. Berati ada kesempatan bersama orang tua 35 tahun. Akan tetapi pada saat usia anak 25 tahun harus berpisah dengan orang tua karena sudah berumah tangga. Dalam 25 tahun bersama anak, orang tua hanya memiliki waktu 5 tahun untuk bisa menimang-nimangnya, karena sang anak memang sedang lucu-lucunya. Pada masa itu orang tua punya waktu untuk dikencingi, diberaki, ditangisi saat berangkat kerja. Orang tua hanya punya waktu 5 tahun untuk mengantarkan sekolah sang anak karena memang belum berani berangkat sendirian. Hanya dalam waktu 5 tahun orang tua bisa menikmati manjanya sang anak. Selebihnya sudah merambah usia remaja, dia mulai tertutup dengan orang tuanya, mulai meninggalkan orang tuanya karena sudah dewasa dan mengambil langkah untuk segera menikah. Segenap sayang, perhatian, pengorbanan yang dia miliki mulai beralih kepada sang istri/suami dan anak-anak tercinta.
Sebagai orang tua, ternyata hanya mempunyai waktu maksimal 5 tahun untuk membentuk kepribadian, mental, dan bakat anak-anak. Mampukah?
Akankah orang tua masih meyakini bahwa masih mempunyai waktu yang panjang untuk terus bersama dan bertemu dengan anak-anak? Yakinkah orang tua dengan kerja keras, banting tulang, peras keringat yang diniatkan untuk semaksimal mungkin bisa menyayangi benar-benar tidak akan salah alamat? (Ayu Tingting kali …). Yakinkah orang tua bahwa dengan fasilitas lengkap yang diberikan pada anak, pada saat orang tua jarang di rumah akan bisa mendidik mental anak sendiri?
Maka jangan sia-siakan waktu yang singkat ini, dan janganlah menyalahkan anak-anak kalau perilaku dan akhlaknya amburadul dan urakan. Salahkanlah diri sendiri sebagai orang tua yang tidak mampu mendidik dan memberi teladan bagi mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar